Ditulis pada 04 Juli 2017 oleh Prof Wim Poli.
Tarfia adalah sebuah kampung di tepi pantai, Distrik Demta, Kabupaten Jayapura, yang dikunjungi penulis pada tahun 2006. Ketika itu penduduknya berjumlah sekitar 600 orang. Kampung ini memperoleh dana kompensasi BBM (bahan bakar minyak) sebesar Rp. 250 juta dari Pemerintah. Mau diapakan uang ini?
Mereka memutuskan untuk membangun sebuah jembatan dengan dana tersebut. Tetapi, menurut seorang pejabat Departemen Pekerjaan Umum dari Jakarta, untuk membangun jembatan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp. 400 juta. Penduduk kampung sepakat untuk membangun jembatan yang sangat dibutuhkannya itu dengan apapun yang ada padanya, termasuk Rp. 250 juta tersebut. Dengan bergotong-royong secara bergilir, mereka dapat menyelesaikan sebuah jembatan beton dalam waktu sekitar satu bulan, dengan menghabiskan biaya sebesar Rp. 203 juta. Jembatan ini diresmikan oleh Bupati Jayapura dengan nama Jembatan Merah, karena airnya berwarna merah oleh endapan mineral yang dikandung tanah sekitarnya.
Ada sisa Rp. 47 juta. Mereka cukup “bodoh” untuk melaporkan adanya sisa dana. Mengapa biaya pembangunannya tidak digelembungkan saja sehingga tepat mencapai Rp. 250 juta atau lebih? Tindakan orang-orang di Kampung Tarfia ini ternyata tidak ”kampungan”. Sisa dana sebesar Rp. 47 juta digunakannya antara lain untuk pembangunan sebuah Pastori Gereja.
Ternyata orang-orang kampung ini sangat ketinggalan zaman. Mereka belum tahu seni menggelembungkan biaya proyek pembangunan, yang umum dipraktekkan orang-orang terdidik di berbagai kota besar. Semoga berbagai tayangan televisi tentang korupsi di kota-kota besar tidak tertangkap di lingkungan kampung mereka yang sederhana dan terpencil.
Renungan: Orang kampung, yang dipandang tidak terdidik, belum tentu berperilaku ”kampungan” dibandingkan dengan orang kota yang secara formal lebih terdidik.
No comments:
Post a Comment