Ditulis pada 04 Juli 2017 oleh Prof Wim Poli.
Benar! Dia seorang Toraja yang betul laki-laki. Namanya Jan Lintin. Pada tahun 1937, ketika berumur 32 tahun, ia adalah guru sebuah sekolah di Redak, Enrekang, Sulawesi Selatan. Ia berani menantang dan mengusir atasannya, Kapten W.C. Lapré, seorang kontrolir Belanda yang ketika itu berkedudukan di Enrekang. Cerita singkatnya diambil dari buku W.I.M. Poli, “Kepemimpinan Strategis; Pelajaran dari Yunani Kuno hingga Tana Toraja” (BPK, 2016: 195-198).
Pada suatu hari Kapten W.C. Lapré mengadakan kunjungan kerja ke sekolah yang dipimpin Jan Lintin. Ketika itu ada dua hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, tingkat kehadiran para murd, yang sering bolos karena memandang kegiatan belajar di sekolah sebagai sebuah beban. Kedua, tingkat pelunasan uang sekolah oleh para murid. Dengan perhatian sedemikian ini Lapré menunggang kuda, mengunjungi sekolah Lintin, dikawal dua orang polisi. Ternyata ada 12 orang murid yang belum melunasi uang sekolahnya. Menurut sang kapten, mereka harus dipecat. Hal itu tidak berkenan di hati Lintin, sang guru. Ia Ia minta agar para muridnya diperkenankan menunda pelunasan uang sekolahnya hingga selesai masa panen kopi. Redak adalah penghasil kopi, dan setelah panen kopi para murid dapat melunasi uang sekolah mereka.
Usul sang guru tidak diterima sang kapten. Perdebatan memanas. Sang kapten yang naik pitam memukul papan tulis dengan cambuk kudanya. Para murid ketakutan dan menyeruduk ke kolong meja. Lintin juga naik pitam. Tanpa gentar, laki-laki Toraja ini mengusir sang kapten Belanda dan dua orang polisinya dari wilayah kekuasaannya. Berhasil! Bukan hanya itu, melalui jalur yang berlaku sang kapten dilaporkan ke atasannya, Gubernur Celebes. Hasilnya: Kapten Lapré dipindahkan ke tempat kerja yang lebih kecil di Kalimantan.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari cerita “tempo doeloe” ini, yang relevan dengan situasi masa kini, sepenuhnya ada pada para pembaca. Selamat merenung!
No comments:
Post a Comment