Ditulis pada 05 Juli 2017 oleh Prof Wim Poli.
Di era globalisasi ini kian tampil berbagai masalah pembangunan yang mendesak untuk ditanggulangi, dari tingkat lokal hingga tingkat nasional dan global. Berbagai kesepakatan telah tercapai pada tingkat global tentang pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. Pelaksa-naannya tetap mengecewakan. Muncullah keraguan dan kekecewaan terhadap cara berpikir dan penerapan kebijakan pembangunan yang “rasional” yang sangat Eropasentris. Ternyata, walaupun tidak dipandang rasional, dengan kearifan lokalnya berbagai masyarakat lokal di seluruh dunia telah menerapkan pembangunan yang berkelanjutan. Kini muncul sebuah gejala baru: kebutuhan terhadap kearifan lokal kian mengglobal. Ribuan entries dapat ditemukan di Internet dengan berbagai nama, seperti: indigenous knowledge, traditional knowledge, dan indigenous wisdom.
Kebutuhan yang mengglobal itu telah menampilkan dua kenyataan yang memprihatinkan. Pertama, para ahli tentang pembangunan di negara-negara berkembang telah menjadi “butahuruf” terhadap berbagai kearifan lokal yang ada di sekitarnya. Berbagai universitas, misalnya, lebih bergairah mempelajari konsep-konsep Barat, antara lain, untuk mencapai posisi sebagai world class university. Kedua, kian banyak konsep-konsep kemandirian lokal yang dipelajari para peneliti dari negara-negara maju, membukukannya, dan menjadi pemilik hak-ciptanya yang dilindungi undang-undang. Di lain pihak, tidak ada perlindungan undang-undang terhadap masyarakat lokal dengan berbagai kearifan lokalnyan yang kini berada di luar negeri. Tidaklah aneh untuk dibayangkan, bahwa pada suatu ketika negara-negara berkembang harus belajar tentang kearifan lokalnya di negara-negara maju.
Renungan: Tidak ada salahnya bagi universitas untuk berusaha mencapai posisi world class university. Lebih mulia dan lebih relevan jika posisi itu dicapai melalui usaha mempelajari dan membukukan berbagai kearifan lokal yang berada di sekeliling tempat kedudukannya.
No comments:
Post a Comment