Ditulis pada 29 Juni 2017 oleh Prof Wim Poli.
Peristiwanya terjadi pada tahun 1960-an di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Pada suatu hari yang berkabut, sekitar jam 05.30 pagi, seorang polisi lalu-lintas sedang berjaga di depan pos penjagaannya. Matanya menangkap kehadiran sebuah sedan langka produksi tahun 1950-an, yang meluncur di jalanan, berlawanan arah dengan arus becak dan delman. Ini adalah sebuah pelanggaran di jalan satu arah.
Ternyata sopir itu tidak lain adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX (1912-1988) yang sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Tegal. Walaupun kaget, sang polisi dengan sopan menjelaskan bahwa sang Sri Sultan, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, telah melanggar rambu-rambu lalu-llntas. Setelah dijelaskan barulah sang Sri Sultan tahu dan mengakui pelanggarannya. Sambil mohon maaf, sang polisi menyerahkan sebuah surat tilang kepada orang besar yang sangat dihormatinya.
Sesuai dengan prosedur yang berlaku, sang polisi melaporkan pelanggaran ini secara tertulis ke kantornya untuk ditindak-lanjuti oleh atasannya. Keesokan harinya ia dipanggil menghadap Komisaris Polisi di kantornya. Ia dimarahi habis-habisan karena “ketololannya” menilang seorang Kepala Daerah, seorang bangsawan yang sangat dihormati rakyatnya. Walaupun dimarahi habis-habisan oleh atasannya dan dijadikan sasaran olok-olokan oleh rekan-rekannya, sang polisi ini tetap merasa dirinya tidak bersalah. Ada pula rekannya yang menduga bahwa karena “kesalahannya” mungkin sang polisi ini akan dihukum, dipindahkan ke daerah kerja yang lebih kecil.
Beberapa hari kemudian sang polisi ini dipanggil lagi untuk menghadap Komisaris Polisi yang sudah memarahinya. Di tangan sang Komisaris Polisi ada sebuah surat tulisan tangan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Isi suratnya memuji tindakan sang polisi lalu-lintas, disertai permintaan agar ia dipindahkan untuk bertugas di Yogyakarta, dan pangkatnya dinaikkan satu tingkat. Bagi sang polisi lalu-lintas ini, yang bernama Royadin, isi surat tersebut sekaligus merupakan berita baik dan berita buruk. Berita baik, karena ia bangga dihargai tindakannya oleh Sri Sultan. Berita buruk, karena ia tidak sudi dipindahkan dari Pekalongan, kota batik yang dicintainya. Dengan permohonan maaf, ia menolak dipindahkan. Ia mencintai pekerjaannya di lingkungan yang dicintainya.
Royadin meninggal pada usia 80 tahun, pada bulan Juli 2010. Sang penilang dan yang ditilang adalah manusia langka tempo doeloe.
Renungan: Salah satu indikasi bobot kepemimpinan seseorang ialah, keberpihakannya secara konsekuen terhadap kebenaran pada setiap saat dan di mana pun, walaupun hal itu tampak merugikan dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment