Ditulis pada 29 Juni 2017 oleh Prof Wim Poli.
Preisden Suharto dan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, berbeda usia tiga tahun. Suharto lebih tua. Keduanya adalah negarawan yang berkali-kali bertemu empat mata, membicarakan hal-hal mendasar dan genting, menyangkut hubungan kedua negara. Suhu hubungan kedua negara sering naik-turun, tetapi selalu terkendali karena keduanya mengandalkan pertemuan empat mata.
Suharto dan rakyat Indonesia marah ketika Singapura menghukum mati dua marinir Indonesia pada tahun 1968. Suhu diplomatik yang tinggi akibat kejadian ini baru menyejuk lima tahun kemudian pada saat kunjungan Lee Kuan Yew ke Indonesia pada bulan Mei 1973. Berdasarkan berbagai saran Lee Kuan Yew setuju untuk, setelah meletakkan karangan bunga di Makam Pahlawan Kalibata mengenang para jenderal yang dibunuh pada peristiwa kudeta PKI yang gagal pada bulan September 1965, bersedia pula mengunjungi dan menaburkan bunga di makam dua marinir yang dihukum mati oleh Singapura pada tahun 1968. Ketegangan berakhir menjadi persahabatan.
Hubungan kedua negara anjlok lagi pada akhir tahun 1975. Ketika itu, pada saat pemungutan suara di Sidang Umum PBB tentang aneksasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia, wakil Singapura mengajukan suara abstain, berbeda dari negara-negara ASEAN lainnya (Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara dibentuk pada bulan Agustus 1967 di Bangkok). Berita yang sampai ke telinga Lee Kuan Yew ialah, Presiden Suharto marah besar, lebih marah ketimbang marahnya pada saat dua marinir Indonesia dihukum mati.
Sekali lagi ketegangan antar negara yang sangat eksplosif ini dapat dikendalikan melalui pertemuan empat mata kedua pemimpin negara pada 29 November 1976 di Singapura. Dengan tegas dan terbuka Suharto menyatakan pendapatnya, kemudian dengan sabar mendengar pendapat Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew menyatakan bahwa Singapura tidak mempersoalkan aneksasi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia. Tetapi, Singpura tidak dapat secara terbuka menyatakan persetujuannya atas serangan dan pendudukan Indonesia terhadap Timor Timur oleh Indonesia. Kalau Singapura menyetujuinya, dunia mendapat kesan yang salah tentang posisi Singapura mempertahankan keselamatan negaranya. Suharto mengerti dan menerima penjelasan Lee Kuan Yew.
Berdasarkan pengalaman beberapa pertemuan empat mata tersebut, Lee Kuan Yew berpendapat bahwa Suharto adalah pendengar yang baik, tidak gampang membuat janji, tetapi sekali ia membuat janji, ia akan setia menepatinya.
Pesan: Dialog yang terbuka dan tulus adalah jalan yang ampuh mengatasi perbedaan pendapat ke arah menang-menang. Kebutuhan masa kini di Indonesia?
No comments:
Post a Comment