Ditulis pada 14 Juli 2017 oleh Prof Wim Poli.
Salah satu asumsi pokok Ilmu Ekonomi adalah “homo economicus.” Manusia adalah makhluk yang rasional dalam tindakannya. Tampaknya asumsi ini tidak berlaku untuk Bu Monal yang baru saja membeli sepasang sepatu model baru seharga Rp. 5 juta. Ia segera menggunakannya, dan berjalan dengan suaminya, Pak Ronal, ke sebuah pesta pernikahan di sebuah hotel berbintang lima. Ternyata, Bu Monal jalan terpincang-pincang karena sepatunya yang mungil tidak pas di kakinya yang tidak mungil.
Kata suaminya, Pak Ronal yang rasional: “Kalau mau lepas dari penderitaan, buang saja sepatunya ke selokan. Lebih enak jalan kaki telanjang. “Apa?,” kata Bu Monal yang emosional, “harga sepatu in satu 10 juta rupiah!”. Tanya Pak Ronal dengan bergurau: “Bagaimana kalau harganya cuma seribu rupiah?.” “Kalau cuma seribu rupiah, saya lemparkannya kedalam selokan,” kata Bu Monal dengan mantap. Di benak Bu Monal, rugi 10 juta rupiah lebih dominan ketimbang nikmatnya jalan kaki telanjang. Siapa yang rasional?
Pak Ronal, dosen Teori Ekonomi, lalu teringat pada pendapat pro-kontra di fakultasnya tentang penutupan sebuah Program Studi yang tidak laku dibeli para mahasiswa. Sebagian dosen berpendapat bahwa Program Studi itu harus ditutup karena kecil peminatnya. Sebagian lagi mau mempertahankannya, karena biaya besar yang telah dikeluarkan di masa lalu untuk melahirkannya. Mirip Bu Monal. Apa kata Keynes dalam hal ini? Di dalam karya agungnya, “General Theory” (1936), John Maynard Keynes (1883-1946), pemikir ulung Ilmu Ekonomi abad XX, mengatakan bahwa dalam hal pengambilan keputusan, manusia lebih banyak dikendalikan “animal spirits” (naluri hewan) ketimbang pertimbangan rasional.
Renungan: Apakah ada perilaku aku dan organisasiku yang mirip-mirip perilaku Ibu Monal? Kalau ada, apakah perlu diubah, dan bagaimana mengubahnya?
No comments:
Post a Comment